Monday, November 26, 2018

What I've Learned from My Quarter Life Crisis

Post kali ini jauh banget dari beauty review, tutorial dan semacamnya yang umum di Blog gue. Kali ini gue mau bahas mengenai kehidupan dan fokusnya mengenai hal Quarter Life Crisis. Mungkin banyak yang belum tahu Quarter Life Crisis itu apa, belum pernah mengalami atau sedang mengalami tapi nggak tahu perasaan apa ini.

I'm NOT okay, but I know everything is gonna be alright

Disclaimer
I have no idea if it's good decision or not sharing my crisis. I don't mean to share my lowest point though, or being attention whore, sort of, nggak gue banget. Awalnya gue berpikir biarkan ini jadi rahasia gue sendiri, tapi akhirnya gue memutuskan untuk post ini. Butuh berapa minggu sampai gue yakin OK I will post this. Cuma gue merasa perlu untuk share ini agar kalian yang juga mengalaminya bisa tahu, ternyata hampir semua orang mengalami krisis ini dan bagaimana gue mencoba bangkit dari krisis ini sekaligus share apa saja yang gue pelajari dari krisis gue ini. Gue mau membuat hidup gue lebih berarti untuk orang lain, siapapun, walaupun cuma share my lowest point and how I fight it kalian bisa mendapat insight positif baru, gue akan senang sekali. 

Anyway intro-nya bakal sangat panjang, gue akan berusaha menjelaskan from where it started sebelum gue membahas apa yang gue pelajari dari krisis hidup seperempat abad ini.

===============================================================

Pertama-tama aku akan share pengertian Quarter Life Crisis dari Guardian.com.

It is supposed to be the time of opportunity and adventure, before mortgages and marriage have taken their toll. But struggling to cope with anxieties about jobs, unemployment, debt and relationships, many young adults are experiencing a "quarterlife crisis", according to new research by British psychologists

Bearing all the hallmarks of the midlife crisis, this phenomenon – characterised by insecurities, disappointments, loneliness and depression – is hitting twenty- and thirtysomethings shortly after they enter the "real world", with educated professionals most likely to suffer.

"Quarterlife crises don't happen literally a quarter of the way through your life," said lead researcher Dr Oliver Robinson, from the University of Greenwich in London. "They occur a quarter of your way through adulthood, in the period between 25 and 35, although they cluster around 30."

Ya, gue mengalaminya! Hahaha. 
Gue bekerja, ada pekerjaan utama dan sampingan, jadi I can say that I earn quite good and quite high than some of my friends karena masih bisa nabung juga tetap bisa hedon. Hehehe. Kerjaan utama gue juga nggak high pressure banget, banyak ketemu orang baru yang mana gue suka, ketemu orang-orang hebat (managers, directors, CEOs etc) yang bahkan gue punya kontak pribadi mereka (I feel honored banget buat ini karna nggak semua orang penting di perusahaan mau share kontak pribadi mereka, biasanya cuma lewat sekertaris) dan nggak jarang yang mau berbagi pengalaman hidup mereka. Then I have super duper crazy funny-ass officemates and kind boss in my office. Selalu ada bahan ketawaan tiap hari di kantor dengan inside jokes nan receh. Lalu gue juga dapat fasilitas kantor mulai dari yang WAJAR (mesin fotokopi, printer, parkir gratis, microwave, kompor, kulkas, etc) sampai yang WOW (kolam renang, gym, sauna, yoga, etc). 
Keluarga gue? Lengkap, sehat, tidak ada masalah antara satu dan lainnya. Gue anak pertama dari 3 bersaudara, cewek semua. Papa gue stroke (pecah pembuluh darah dan sudah operasi) tapi sukurnya sehat, masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari sendiri, rajin olahraga (jalan pagi dan sore, bahkan naik sepeda statis), tapi tidak bisa bekerja lagi karena penyakitnya bikin bagian badan dia sebelah kanan lumpuh hampir total. Mama gue ibu rumah tangga yang hebat, ibadahnya juga kenceng. Mama juga pencari nafkah dan perlahan-lahan peran itu mulai gue dan adik pertama gue ambil. Adik kedua gue masih berkuliah. Gue juga punya anjing lucu yang siap menyambut gue dengan bahagia sepulang kantor.
Ya intinya gue ceritain itu semua adalah; my life looks okay and normal, looks alright. Tapi dalam diri gue ada perasaan insecure dan gejolak yang bener-bener gue nggak bisa jelaskan, ada rasa nggak puas yang sangat besar terhadap diri gue sendiri. Ada beberapa teman dan saudara gue yang bahkan gemas bertanya "Apa lagi sih Queen yang lu cari padahal lu udah lumayan enak?". Huh, really?


Umur gue sekarang 25 tahun dan gue uda struggle dengan krisis ini mungkin dari mau lulus kuliah, cuma awal-awalnya belum parah dan belum berdampak ke kehidupan gue sehari-hari. Makin ke sini, gue mulai bertanya-tanya dan merasa kok kayaknya hidup gue datar-datar aja; dalam 5 tahun gue mau diri gue jadi apa; kerjaan gue nggak sesuai dengan jurusan gue dulu, normal nggak ya; did I miss the best opportunity that ever been offered to me; dan seterus-seterusnya. Gue mulai "terbangun" dan menanyakan tujuan hidup gue ketika gue sudah sadar habis lulus kuliah, hidup gue adalah urusan gue sendiri, sudah tidak ada yang mengatur, tidak ada lagi jadwal-jadwal kuliah pasti yang membuat gue merasa secure tiap hari udah tahu apa yang mau dilakukan. 

I felt super blank, truly blank. I do walk but I don't know my direction.

Gue nggak bilang jurusan gue pas kuliah nggak bagus, gue cuma merasa it's not for me walau IPK gue 3,73 dari 4,00, skripsi dan sidangnya lancar pisan dan dapat A sekalipun. Ya, memilih kuliah dulu juga ada drama tersendiri yang pokoknya kalau dikenang sedih banget deh. Tawaran kerja sesuai jurusan jangan ditanya lagi, lumayan banyak, cuma gue akhirnya memilih untuk meninggalkan kerjaan sesuai jurusan gue pas kuliah dulu karna gue udah terlanjur merasa salah jurusan. Gue nggak main meninggalkan gitu aja, I still gave myself time untuk membuktikan should I keep walking or leave this path sambil meminta petunjuk dari alam semesta. Hahaha. Tapi pada akhirnya gue fix memutuskan tidak melanjutkan lagi karena ada satu dua hal.

I've even mentioned it clearly :)
Lulus kuliah gue naif. Gue bilang gue akan kerja apa aja kerjaan yang nerima gue duluan karena gue sendiri nggak tahu passion gue apa, tapi ending-nya tetap picky sih :p Gue pilih yang jam kerjanya OK dan gajinya lebih tinggi, Waktu itu ada 4 kerjaan yang sudah sampai tahap panggilan user. Akhirnya gue dapat pekerjaan pertama gue dan gue masih bertahan sampai sekarang. Hampir 3 tahun bekerja, tentu nggak mulus-mulus terus. Ada satu titik gue benar-benar depresi sampai-sampai gue kena Panic Attack dimana waktu itu di dalam pikiran gue sampai kayak ada bisikan gue akan mati, jantung berdebar nggak karuan. Gue bukan tipe orang yang bisa menceritakan permasalahan pribadi ke orang-orang termasuk keluarga gue sendiri, akhirnya pendam sendiri karna gue pikir nggak akan ada yang ngerti kondisi dan posisi gue, mau gue cerita sedetail apapun.

Puncaknya ketika gue meniup lilin di ulang tahun gue yang ke 25. Finally I reached that number. Umur yang sudah gue tetapkan harus ada achievement tertentu yang sudah gue set buat diri gue sendiri bertahun-tahun lalu dan ternyata gue gagal mencapainya. Belum kepikiran kapan bisa bawa orang tua jalan-jalan ke luar negeri, ke tempat yang mereka mimpikan dari lama, terus bisa belanjain mereka tanpa mikirin pengeluaran lain, rasanya pengen banget secepatnya, tapi apa daya gue belum menjadi "gue yang lebih" yang telah gue imajinasikan. Gue pengen pas gue bawa orang tua gue jalan-jalan, mereka masih bisa melangkah tanpa merasa capek, gue pengen mereka mendapatkan apa yang mereka impikan ketika mereka masih ada waktu untuk menikmatinya. Gue sempat merasa semua sudah terlambat. Depresi, frustasi, sedih, marah, pokoknya susah dijelasin how mess I was that time.


Kurang lebih demikian krisis gue, jujur masalahnya lebih kompleks dari apa yang bisa tulis di sini. Ada beberapa juga masalah pribadi yang "melengkapi" krisis ini sehingga it cut my wounds deeper, tapi intinya yang mau gue kasih tahu adalah gue pernah terpuruk dan hopeless, tapi I still have a will to move on. Sukurnya setelah post ini terbit, gue udah perlahan moving on dan siap untuk share apa aja yang gue pelajari selama krisis gue ini.

===============================================================

What I’ve Learned from My Quarter Life Crisis


You can’t blame anybody for whatever bad things that had happened to you. Mungkin kesalahannya ada di diri kita sendiri. Karena gampang saja menyalahkan orang seolah-olah mereka yang put us down atau mereka yang menjadi penyebab hal buruk terjadi pada kita, dibanding introspeksi diri apakah yang terjadi pada kita penyebabnya adalah diri kita sendiri. Ya walau memang ada beberapa kasus memang ada orang yang mungkin sengaja mau menjatuhkan kita, tapi kembali lagi ke kita bagaimana kita menghadapinya, baper terus atau "lawan" dengan prestasi. Balas dendam yang anggun itu adalah dengan cara bagaimana kita akhirnya bisa menjadi "lebih" dari orang yang menjatuhkan kita dan membuktikan bahwa perkataan mereka itu tidak benar, bukan malah menyumpahi yang buruk-buruk atau hal kekanakan lainnya. Kalau gue sendiri ketika gue mengharapkan yang buruk-buruk untuk orang yang menyakiti gue, gue sendiri makin sakit karena kebanyakan orang yang menyakiti gue adalah orang-orang yang gue kenal, percaya bahkan sayang. Justru kita harus mengharapkan yang terbaik untuk mereka, secara nggak langsung diri kita akan merasa tenang. Gue juga manusiawi kok, pernah gedek segedek-gedek-nya sama orang, pernah sumpah-sumpahin, tapi beneran sakit banget hati ini rasanya. Tapi ketika gue coba tarik napas dan coba untuk "memaafkan" dia, perasaan gue makin lega jadinya.
Jadi setelah krisis ini, fokus gue adalah merubah diri gue sendiri menjadi better version of me. Gue juga akan mulai berhenti membanding-bandingkan diri gue sendiri dengan orang lain karena setiap timeline orang berbeda-beda.

Jangan pernah melihat masalah orang dari sudut pandang atau kondisi pribadi. Ini memang hal terbodoh yang pernah gue lakuin and I admit I’m super duper ignorant. Pikiran yang “kalau gue jadi dia, kayaknya gue nggak akan depresi kayak gitu deh” atau “masalah dia nggak seberapa sih dari gue, harusnya dia nggak lebay begitu”. Until their problem happened to me. Entah karma atau apa, tapi jangan pernah lagi memandang masalah orang lain based on your circumstances. Setelah gue mengalami beberapa masalah yang dulu gue pikir gue akan bisa menghadapinya tanpa baper atau tanpa mempengaruhi kehidupan gue sehari-hari, gue tahu betapa cukup didengarkan saja keluhan kita tuh rasanya luar biasa. Kita yang punya masalah kadang nggak butuh judge atau nasehat yang mengawang-awang, tapi cukup didengar. So I will do the same thing ke orang-orang yang sedang bermasalah dan mau cerita masalahnya ke gue. Gue nggak akan judge atau kasih nasehat yang terlalu halu, cukup didengarkan saja keluhan mereka sudah bisa bantu melepas beban mereka.

Even if you’re freaking independent woman, you still need your friends and family to hold you onNeed to question this? Duh! We totally need a good support system. Tapi tetap jangan jatuhnya “memanfaatkan” teman, ketika sudah happy, eh lupa teman. Atau ketika temanmu susah and they need you the most like you needed them the most that time, malah ditinggalin. Gue tipe orang yang kalau ada masalah pertama akan mencoba menghilang dan gue tau ini bodoh banget. Dengan gue mengisolasi diri sendiri, gue secara nggak langsung memupuk negative minds di kepala gue dan jatuhnya gue stres sendiri. Emang ya manusia itu makhluk sosial, akhirnya gue memilih untuk kembali ke orang-orang yang gue percaya dan share permasalahan gue. Sejauh ini gue merasa grateful banget sudah dikelilingi orang-orang yang benar-benar memberikan dukungan dan semangat ketika gue lagi butuh banget, I owe them everything. Terima kasih banyak :). 

message from my mom XD anyway that is my dog, pardon his cuteness
Life Planning itu penting banget, tapi jangan sampai bikin lu takut untuk mencoba hal baru. Sebenarnya gue adalah tipe orang terencana banget, well-planned, karena gue orangnya super duper insecure tentang masa depan, jadi gue selalu memastikan segala sesuatu sudah dipersiapkan dengan baik sebelum siap menghadang yang akan datang. Sifat seperti ini membuat gue menjadi orang yang over thinking, karena dalam persiapan itu, gue selalu memikirkan worst case yang akan terjadi dan juga backup plan-nya. Walau terlihat baik karena well-prepared dan gue sudah seperti mengerti cara menyiasati worst situation-nya, tapi nggak jarang sifat over thinking gue ini membuat gue takut untuk memulai. Cara untuk gue melawan hal ini setelah gue hampir melewati quarter life crisis ini adalah, gue harus selalu ingat kalau kebahagiaan itu hanya bisa gue mulai dan gue buat, bukan dari orang lain. Dan selama ini gue terkesan menunggu dari orang lain, tapi sampai kapan? Kenapa nggak dimulai dari sekarang? Hidup itu terlalu sayang disia-siain, karna you only live once and youth is also only once happens in your life, so why don’t you start to try something new? Gue pernah baca di sebuah buku, ada tulisan: Jika kamu mencoba, memang tidak ada jaminan 100% berhasil, tapi jika kamu tidak mencoba, sudah dijamin 100% gagal; kurang lebih seperti itu tulisannya. Balik lagi ke masalah Life Planning. Harus selalu kasih batasan waktu terhadap diri sendiri, nggak salah sih kasih ekspektasi agak tinggi, tapi dari diri sendiri yakin bisa mencapainya dan misalnya tidak bisa mencapainya, akan melakukan hal yang lain. Misalnya jika umur blablabla belum mencapai blablabla, maka saya akan langsung mencoba blablabla. Konsisten dan believe on it, jangan pasrah. Gue pernah challenge sikap super insecure gue dengan melakukan hal-hal yang tidak direncanakan dengan baik dan ternyata berjalan dengan baik. Jadi dari situ gue yakin walau kita modal nekat pun, ending-nya masih baik kok, nggak akan seburuk yang dipikirkan sebelumnya.

Cari pengalihan masalah ke arah yang positif, find your happiness in positive wayNightlife, alcohol, and whatsoever aren’t the best answer to make you forget a while of your problemDo your hobby passionately, tentunya hobi yang nggak merugikan orang ya. I love to play music instrument like guitar or piano, jadi gue menyalurkan energi negatif gue ke musik-musik yang gue mainkan. Bisa juga mencoba hobi baru, karena butuh waktu yang lama untuk belajar hal baru, jadi dengan ini juga perlahan-lahan bisa lupa tentang kesedihan yang lagi dialamin. Dan terakhir, go traveling! Kemana aja, nggak perlu yang mahal-mahal, paling nggak ke tempat-tempat baru. Kalau aku memang sudah menyisihkan tabungan aku untuk aku traveling keluar negeri at least setahun dua kali. Terdengar boros but trust me it doesn’t jika dibandingkan berapa banyak perspektif dan suasana baru yang akan didapat, stres juga bisa hilang. Self-reward won't hurt you. Aku mulai kurang-kurangin belanja barang nggak penting (baju, tas, sepatu), jalan-jalan ke mall, atau makan-makanan yang terlalu mahal; jadi uangnya bisa untuk traveling. In my case, gue nggak pernah suka pakai tur, selalu semi-backpacker, karna tipe traveling gue adalah yang nggak mau terikat sama orang, gue lebih suka dan dominan pergi ke tempat yang berbau alam terbuka dibanding ke tempat yang dibuat manusia (kayak gedung-gedung, museum, taman). Juga kalau traveling sendiri, banyak ongkos yang bisa dipangkas misalnya tipping fee, entrance fee ke tempat yang sebenarnya nggak mau dikunjungin, dll. Atau option murah gue adalah gue naik gunung, pantai, pulau, pokoknya pergi ke tempat yang berbau alam. Gue juga nggak mau masa tua gue menyesal karena pas muda gue nggak eksplor tempat-tempat baru.












Mencoba hidup lebih positif dan melihat hal positif dari hal yang paling negatif sekalipun.
Seperti yang kita tahu, pikiran buruk itu datang dari pikiran yang buruk juga. Gue coba mulai dari hal-hal kecil. Misalnya ketemu teman lama, instead of bilang “lo kok kurusan, lo kok gendutan” ganti jadi “you look great!”; atau misalnya lihat postingan teman di Instagram dan bikin gue secara nggak langsung iri, mending berpikir bagaimana cara membuat hidup gue lebih indah dengan my own way, bukan mengikuti mereka. Gue sekarang memaksakan diri gue olahraga juga at least seminggu sekali. Bukan olahraga berat, olahraga yang disukai aja. Gue suka yoga karena secara nggak langsung juga yoga mengajarkan hidup lebih positif. Kadang juga treadmill sambil nonton movie. Olahraga secara nggak langsung bantu gue untuk menjernihkan pikiran, benar-benar nggak pikirin kesusahan hidup sejenak kalau lagi olahraga. Gue juga suka renang, kadang-kadang ngambang aja di kolam udah senang, pikiran plong. Percaya nggak percaya, gue ketemu teman yang uda lama nggak ketemu, dia bilang gue terlihat lebih fresh. Hahaha! Bonus!
Kemudian, gue dapat insight baru dari teman sekantor gue bagaimana cara melihat hal positif dari orang yang sudah kita anggap jerk sekalipun. Jadi dia pernah di-PHP oleh seorang cowok yang padahal dia yakin banget cowok itu ada feeling ke dia karena perlakuan spesial cowok itu ke dia. Let say anterin makanan ke kosan dia ketika teman gue pengen makanan itu padahal udah malam, ajak nonton berdua, rayain Valentine bareng, semangatin pas mau sidang dengan beliin makanan dan ditulisin notes-notes penyemangat, siapin birthday surpriseupload foto di Instagram berdua dengan teman gue itu (only with her aja yang berdua, nggak pernah sama cewek lain), jadi mau melakukan hal yang dia awalnya nggak mau tapi karena teman gue minta dia melakukannya, dia jadi mau; dan hal-hal itu dilakukan ke teman gue itu dan tidak dengan teman-teman cewek dia yang lain. Tapi si cowok nggak sekalipun menyatakan perasaan dia, dan pas dipancing sama temannya, jawabannya intinya emang nggak boleh temenan kayak gitu (I mean, come on, dude, apakah lu akan melakukan hal yang sama sama teman cewek lu yang lainnya?). Dan itu berlangsung 2 tahun, gitu-gitu aja dan teman gue terlanjur baper. Ya pokoknya PHP level dewa. Teman gue walaupun sakit banget di-PHP-in waktu itu, tapi dia masih bisa bilang “harusnya dia udah gue anggap cowok breng***, tapi yang penting waktu itu gue bahagia”. Ya, masih ada sisi positifnya. Hahaha.

Coba hidupkan lagi mimpi yang dulu pernah dimimpikan. Iya, gue punya satu mimpi dari zaman mau lulus SMA, bahkan masih gue masih mimpikan semenjak lulus kuliah cuma belum sempat gue implementasikan karena waktu itu masih cukup ditentang orang tua dan dipertanyakan apakah gue akan sanggup melakukannya. Karena gue mau banget lepas dari krisis ini dan menemukan jati diri, gue beranikan bicara serius dengan orang tua gue, pada akhirnya mereka beri restu walau ya masih ragu apakah aku bisa menjalaninya atau nggak, tapi aku sendiri merasa diri aku sudah sangat mantap. Wish me luck for this! 

Pada akhirnya, it’s gonna be alright. Banyak yang pernah mengalami ini dan pada akhirnya mereka bisa melaluinya, bitter or sweet, yang jelas akan berlalu dan memang tidak akan terjadi apa-apa yang membuat kita begitu terpuruk. Kayaknya pede banget gue ngomong begini, seperti ada jaminan, tapi gue sendiri mengalaminya. Selama ini ketakutan gue ya hanya sebatas ketakutan yang tidak terjadi, ternyata semua baik-baik saja. Bangun mindset yang positif, hidup positif. Someone has mentioned “you learn more from failure than from success”.




Ada rasa "nyesal" nggak menjadi salah satu orang "beruntung" yang mengalami Quarter Life Crisis? Jawabannya nggak :) Karena gue nggak pernah merasa sangat relieve kayak gini. Finally I know "to be better" feels like, I can bring out the better part in me. Gue jadi memaksa otak gue untuk berpikir kedepannya harus gimana dan nggak takut untuk memutuskan sesuatu karena gue yakin banget semua pilihan lu adalah benar jika lu tekunin banget dan jangan setengah-setengah. Gue jadi tahu hal yang paling gue takutin adalah ketika gue kehilangan harapan dan mimpi, hidup tanpa tujuan tuh menurut gue hal yang benar-benar menakutkan.

Krisis ini juga membantu gue makin bisa menghargai dan memahami orang yang mengalami mental health issues. Depresi itu nggak sepele, it's invisible illness, mereka terlihat sangat baik-baik saja di luar, tapi di dalamnya hancur, remuk, sakit. Orang bunuh diri itu nggak bodoh, tapi mereka sudah merasa tidak ada jalan keluar sehingga memilih untuk mengakhiri hidupnya. Jangan paksa mereka untuk get used to it, support them, jangan bilang lebay dan semacamnya karena kalian beruntung saja sedang tidak mengalami apa yang mereka alami.

Dan jika krisis kali ini selesai, gue (dan mungkin kita semua) harus siap akan krisis-krisis di tahap umur selanjutnya dan tenang guys, it's all normal, semua mengalami dan we're here for you :)

Akhirnya gue sendiri juga sudah memantapkan diri dengan pilihan gue sekarang yang sedang matang-matang gue persiapin. Walau gue belum tau ending pilihan gue ini seperti apa, gue akan tetap berusaha yang terbaik sampai gue mendapatkan jawaban yang gue inginkan. Walau gue cewek, I think being a free spirited woman is my destiny. I only live once, I don't want my life looks flat and die without trying everything that I want to try. Sekarang gue udah kembali ke pribadi gue yang bubbly lagi, udah normal mode, intinya harus ada mimpi dan keinginan untuk mencapai mimpi itu, baru ada gairah dalam hidup. Iya kan? Feel free share your thoughts :)


Last thing, gue sekalian share salah satu posting-an yang gue temukan di Instagram dari Bramantyo Sastrowiranoe.















I was born to be HAPPY!











No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...